ZAKAT FITRAH DENGAN UANG PERSPEKTIF 4 MAZHAB

Oleh: Dr. Nur Fadlan, Lc., M.Si., C.A.H.

Zakat Fitrah merupakan salah satu kewajiban bagi setiap Muslim yang hidup hingga akhir bulan Ramadan dan memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya. Zakat ini berfungsi sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari kesalahan dan kekurangan selama Ramadan, serta sebagai bentuk solidaritas sosial dengan membantu kaum fakir dan miskin.

Dalam praktiknya, Zakat Fitrah secara tradisional dibayarkan dalam bentuk bahan makanan pokok seperti kurma, gandum, atau beras, sebagaimana yang dipraktikkan di masa Rasulullah SAW. Namun, dalam perkembangan zaman, muncul perdebatan mengenai kebolehan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang tunai. Perbedaan pandangan ini terutama terlihat dalam pendapat empat mazhab utama dalam Islam: Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali.

 

Pendapat Empat Mazhab tentang Zakat Fitrah dengan Uang Tunai

Imam Abu Hanifah memperbolehkan pembayaran Zakat Fitrah dengan uang tunai. Mazhab ini berpandangan bahwa tujuan utama Zakat Fitrah adalah untuk memberikan manfaat kepada mustahik, sehingga bentuk pembayaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Dalil yang digunakan oleh mazhab Hanafi adalah prinsip istihsan (pertimbangan maslahat yang lebih besar), di mana uang dianggap lebih fleksibel dan memberikan kemudahan bagi penerima untuk memenuhi kebutuhannya.

Mereka juga merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Mu’adz bin Jabal ketika dikirim ke Yaman oleh Rasulullah SAW membolehkan pembayaran zakat dengan barang yang berbeda dari yang disebutkan dalam hadis-hadis lain, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dari sini, Mazhab Hanafi menyimpulkan bahwa Zakat Fitrah boleh dibayarkan dengan uang jika itu lebih bermanfaat bagi mustahik.

Hadis yang berkaitan dengan kebolehan mengganti zakat dengan barang lain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, sebagai berikut:

بَابُ العَرْضِ فِي الزَّكَاةِ وَقَالَ طَاوُسٌ : قَالَ مُعَاذٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِأَهْلِ اليَمَنِ : ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ – أَوْ لَبِيسٍ – فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ فَلَمْ يَسْتَثْنِ صَدَقَةَ الفَرْضِ مِنْ غَيْرِهَا ، فَجَعَلَتِ المَرْأَةُ تُلْقِي خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا ، وَلَمْ يَخُصَّ الذَّهَبَ وَالفِضَّةَ مِنَ العُرُوضِ

“Thawus berkata: Mu’adz radhiyallahu ‘anhu berkata kepada penduduk Yaman, ‘Berikanlah kepadaku pakaian—baik yang bermotif atau yang polos—sebagai zakat, menggantikan gandum dan jagung. Itu lebih ringan bagi kalian dan lebih baik bagi para sahabat Nabi ﷺ di Madinah.’ Nabi ﷺ juga bersabda, ‘Adapun Khalid, ia telah menahan baju besi dan perlengkapannya di jalan Allah.’ Nabi ﷺ juga bersabda, ‘Bersedekahlah kalian, meskipun dari perhiasan kalian.’ Beliau tidak membedakan antara sedekah wajib (zakat) dan sedekah sunah. Maka para wanita pun mulai melepaskan anting-anting dan kalung mereka untuk bersedekah. Nabi ﷺ juga tidak membatasi zakat hanya pada emas dan perak dari barang dagangan.”

Hadis-hadis dalam bab ini menunjukkan bahwa zakat tidak terbatas pada emas dan perak, tetapi dapat dibayarkan dalam bentuk barang dagangan yang memiliki nilai ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh kebijakan Mu’adz bin Jabal yang membolehkan penduduk Yaman membayar zakat dengan pakaian sebagai ganti gandum dan jagung, demi kemudahan mereka dan manfaat yang lebih besar bagi penerima. Selain itu, hadis tentang Khalid bin Walid dan anjuran Nabi ﷺ kepada para wanita untuk bersedekah dengan perhiasan mereka juga menegaskan fleksibilitas dalam pembayaran zakat. Prinsip utama dalam zakat adalah memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi mustahik dan tidak memberatkan muzaki. Dari sini, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Zakat Fitrah boleh dibayarkan dengan uang jika itu lebih bermanfaat bagi mustahik, karena inti dari zakat adalah memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang paling efektif.

Imam Malik berpendapat bahwa pembayaran zakat fitrah harus dilakukan dalam bentuk makanan pokok yang umum dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:

عَن ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: “فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ”. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ.

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadan sebanyak satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari gandum atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar.” (Diriwayatkan oleh Al-Jama’ah: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Mazhab Maliki menekankan pentingnya mengikuti ketetapan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Oleh karena itu, pembayaran Zakat Fitrah dalam bentuk uang tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan sunnah yang eksplisit menyebutkan bentuk pembayaran dalam makanan pokok.

Mazhab Syafi’i memiliki pendapat yang sama dengan Mazhab Maliki dalam hal ini. Menurut Imam Syafi’i, zakat fitrah harus dibayarkan dalam bentuk makanan pokok dan tidak boleh diganti dengan uang. Hal ini didasarkan pada dalil yang sama dengan Mazhab Maliki, serta tambahan prinsip bahwa hukum asal ibadah adalah mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam nash.

Dalam Kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pembayaran Zakat Fitrah dalam bentuk uang tidak sah karena menyelisihi apa yang telah ditetapkan dalam hadis-hadis sahih. Menurutnya, keutamaan pembayaran dalam bentuk makanan lebih sesuai dengan kebutuhan mustahik, karena menjamin mereka mendapatkan bahan konsumsi langsung di hari raya.

Mazhab Hanbali juga berpendapat bahwa Zakat Fitrah harus dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang sesuai dengan yang dikonsumsi di daerah tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada dalil yang sama dengan Mazhab Maliki dan Syafi’i, yaitu hadis-hadis yang menyebutkan pembayaran Zakat Fitrah dalam bentuk makanan pokok.

Mazhab Hanbali juga berargumen bahwa tidak ada dalil yang mendukung pembayaran Zakat Fitrah dalam bentuk uang. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang telah menetapkan pembayaran Zakat Fitrah dalam bentuk makanan.

Dari keempat mazhab tersebut, hanya Mazhab Hanafi yang membolehkan pembayaran Zakat Fitrah dengan uang tunai, sementara Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mewajibkan pembayaran dalam bentuk makanan pokok. Perbedaan ini muncul karena metode istinbath hukum yang berbeda. Mazhab Hanafi lebih fleksibel dan mempertimbangkan maslahat, sehingga membolehkan pembayaran dalam bentuk uang jika itu lebih bermanfaat bagi mustahik. Sementara itu, Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali lebih tekstualis dalam memahami hadis dan menekankan pentingnya mengikuti sunah Rasulullah SAW secara literal.

 

Implikasi Sosial-Ekonomi dalam Konteks Hukum Modern

Dalam konteks modern, pembayaran Zakat Fitrah dengan uang tunai menjadi praktik yang umum di berbagai negara Islam, termasuk di Indonesia. Beberapa alasan yang mendukung kebolehan pembayaran Zakat Fitrah dengan uang tunai meliputi: (1) Kemudahan dalam distribusi. Uang tunai lebih mudah didistribusikan kepada mustahik, terutama di daerah perkotaan di mana membeli dan mendistribusikan makanan pokok bisa menjadi tantangan logistik. (2) Fleksibilitas bagi mustahik. Dengan uang tunai, mustahik bisa menggunakan zakat fitrah untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak selain makanan, seperti obat-obatan atau kebutuhan rumah tangga lainnya.

Beberapa lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dar al-Ifta’ Mesir membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang tunai, dengan mempertimbangkan kemaslahatan mustahik. Dalam pendekatan Maqashid Syariah (tujuan syariah), Zakat Fitrah bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi mustahik. Jika uang tunai lebih memberikan manfaat dalam mencapai tujuan ini, maka penggunaannya bisa dibenarkan.

Perbedaan pendapat mengenai pembayaran Zakat Fitrah dengan uang tunai menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang untuk ijtihad dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah sosial. Mazhab Hanafi membolehkan pembayaran dengan uang berdasarkan maslahat, sementara tiga mazhab lainnya berpegang pada teks hadis yang menyebutkan bentuk makanan pokok.

Dalam praktik modern, pembayaran Zakat Fitrah dengan uang tunai telah menjadi pilihan yang diterima secara luas, terutama dalam sistem distribusi zakat yang lebih efisien. Oleh karena itu, pemilihan antara membayar Zakat Fitrah dengan makanan atau uang tunai dapat disesuaikan dengan kebutuhan mustahik serta kondisi sosial ekonomi yang berlaku, asalkan tetap dalam koridor syariat Islam dan prinsip kemaslahatan umat.

 

Referensi:

Abu Dawud, S. bin al-A. (n.d.). Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Bukhari, M. bin I. (n.d.). Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Kathir.

Al-Kasani, A. (n.d.). Bada’i al-Sana’i fi Tartib al-Syara’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Nasa’i, A. bin S. (n.d.). Sunan al-Nasa’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Nawawi, Y. bin S. (n.d.). Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Sarakhsi, M. bin A. (n.d.). Al-Mabsut. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Tirmidzi, M. bin I. (n.d.). Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Asy-Syafi’i, M. bin Idris. (n.d.). Al-Umm. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Dar al-Ifta’ al-Misriyyah. (n.d.). Fatawa ‘an Zakat al-Fitr. Kairo: Dar al-Ifta’.

Ibnu Majah, M. bin Y. (n.d.). Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI). (2022). Fatwa tentang Zakat Fitrah. Jakarta: MUI.

Muslim bin al-Hajjaj. (n.d.). Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

 

Share:

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn
Scroll to Top

Isi Pesanan Disini